top of page
Writer's pictureLia Brasali Ariefano

Part 1: Printing a Galley of Blessing from The Poor

Dua kosa kata yang sangat berlawanan satu sama lain: Berkat dan ‘Papa’ (baca: kemiskinan/ ketidak-punyaan).

Tetapi Saya mengalami 2 kata yang berlawanan ini sebagai satu kesatuan yang memberkati hari-hari Saya secara luar biasa.

Tidak heran, kalau gereja Katolik kita tercinta, selalu berpihak pada kaum miskin dan papa, serta juga mempromote spiritualitas yang mau hidup sederhana.

Rasanya memang lebih mudah ‘menemukan Tuhan’ di tengah keadaan atau tempat yang sederhana dibandingkan di tengah kehidupan metropolitan.

Di mana suara Tuhan tertutup oleh bunyi klakson mobil, suara TV di rumah, bahkan suara manusia yang lebih keras dari pada suara penciptanya.

Sosok Tuhan tertutup oleh ambisi, kecemburuan, ketamakan, dan hedonisme yang menjadi keseharian hidup di kota metropolitan.


Tgl.1-3 Juli kemarin, saya diberkati Tuhan dengan kesempatan pergi bersama satu rombongan dari Paroki St.Theresia yang diprakarsai oleh P’Muljono.

Seorang Bapak berusia 70 tahun yang sederhana, tetapi setelah saya mengikuti perjalanannya, saya melihat kekuatan hatinya untuk berkarya di kebun anggur Tuhan dan saat Ia menyambut panggilan Tuhan itu, Tuhan berkarya luar biasa melalui hidupnya.

Kami pergi ke Sendangsono. Tempat ziarah umat Katolik yang pasti tidak asing lagi di telinga kita semua. Tetapi ternyata, di balik bukit-bukit, dan gunung yang ad adi sekitar Sendangsono, tersimpan kemiskinan yang membuat mereka sulit untuk hidup,

Saat ini saya mengajak Anda semua membayangkan, bagaimana hidup yang paling sederhana yang bisa kita lakukan saat ini…?

Percayalah… mereka jauh jauh jauh jauh jauh ada dibawah dari yang kita bayangkan saat ini. Saya yakin, Anda semua pasti tidak membayangkan harus berjalan selama 2 jam melintasi gunung-gunung hanya untuk mengambil uang Rp.15.000,- atau harus mengangkat kayu dipunggung untuk kehidupan sehari-hari dan berjalan melintasi gunung-gunung kan?


Saya sendiri sudah pernah masuk ke tempat-tempat seperti ini.

Tapi tidak lebih dari hitungan jari-jari di 1 tangan saya. Mungkin kesempatan ini menggenapi keseluruhan hitungan jari pada 1 tangan tadi. Sehingga tidak heran, saat Saya pergi rasanya semua barang mau Saya bawa.

Ketakutan saya pada kebersihan toilet, kekhawatiran saya terhadap bagaimana saya tidur, bahkan kepusingan saya… apakan ada listrik untuk men-charge HP saya. Bahkan sempat terpikir untuk membawa lap top Saya.

Bukan cuma itu, Autan semprot, pembersih toilet seat, tissue kering sd. anti septic, bahkan Aqua botolpun sepertinya ingin Saya bawa semua untuk menentramkan hati.

Sampai akhirnya saat saya dan suami membongkar kembali tas yang sudah ter-packed (karena tidak mungkin membawa 2 tas untuk perjalanan sulit yang hanya 2 hari!), Saya memutuskan (dengan sangat berat hati) untuk tidak membawa sebagian barang-barang tadi.


Saat Saya sempat merefleksikan situasi ini - betapa semua kemudahan Jakarta membuat Saya menjadi orang yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran.

Sampai pada tahap, uang saja tidak cukup membuat hidup kita tenteram.

Memang benar bahwa uang tidak bisa membeli segalanya.


Saat perjalanan ke Bandara, tidak habis-habisnya hati ini berkata:

”Aduh malasnya… aduh malasnya…” berkali-kali…

Sempat mengutuki ke-sok-an diri Saya: "Kenapa ya kemarin gue ambil tawaran ini?"

Kenapa ya… kenapa ya…?” dstnya…

Membayangkan bagaimana saya harus menghabiskan week end saya dengan bersusah-payah, sedangkan di sini, saya bisa ada bersama suami dan teman-teman… hang out di mal… dan Ngopi!

Kira-kira 5 hari sebelum keberangkatan, saya hampir membatalkan karena kekhawatiran-kekhawatiran tadi terus menghantui Saya.

Luar biasa bagaimana kemudahan dan kenikmatan dunia menjerat hati Saya.

Sampai pada akhirnya mungkin kita tidak sadar, hati yang harusnya berbelas-kasih dibuat buta oleh semua yang kita rasa benar dan sudah seharusnya kita dapatkan.

Kekhawatiran saya, hampir menghalangi saya menerima berkat, yang tidak saya sangka-sangka.


Tiba waktunya kamipun berangkat. 2 dokter (saya dan dr.Welly Kwangtana), 3 paramedis, 1 relawan (Feni), Pak Mul, Mbak Nita, dan Pak Herman.

Senang sekali rasanya bertemu dengan dr. Welly krn dia adalah kakak kelas Saya semasa kuliah. Dari dr. Welly-lah Saya banyak belajar mengenai kecintaan melayani orang miskin dari sejak saya masih kuliah dan bersama dengannya berkarya di kampung nelayan di daerah Cilincing.

Rasa kagum saya tidak putus kepada dia, melihat ia yang pertama kali membentuk pelayanan kesehatan di Cilincing bersama dengan suster-suster Puteri Kasih di pertengahan tahun 1990an, dan hari ini pelayanan kesehatan itu masih ada di sana, berkarya dan memberkati para nelayan miskin di daerah Cilincing, bahkan dari ceritanya saya mendengar ia telah membuka 2 pos baru di daerah Warakas.

Saya mengagumi visi yang Tuhan taruh dalam hatinya, yang membuat dr.Welly masih ada di sanadan berkarya di sana. Itulah kekuatan visi.

Sedangkan Saya…? Sudah menghilang entah kemana.


Visi itu juga yang saya lihat di diri Pak Muljono. Menurut ceritanya, beliau memulai karya pelayanan ini sejak tahun 1994-an. Ketika ia datang ke Sendangsono, dan tergerak melihat kemiskinan di sana.

Terutama hatinya tergerak melihat anak-anak yang putus sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah. Akhirnya beliat mulai dengan 2-3 anak yang Ia biayai sendiri. Tetapi hatinya merasa resah sehingga sesampainya di Jakarta, ia mulai mengetuk hati para penderma.

Dari penderma yang mudah, sampai penderma yang membuat ia merasa harus ‘menebalkan’ mukanya untuk menutupi harga diri/ malunya untuk meminta bantuan. Sedikit demi sedikit penderma terkumpul dari tahun ke tahun. Sampai hari ini, kita-kira 12 tahun ia menjalani ini sudah ada lebih dari 600 anak, yang merasakan bantuan beasiswa sehingga dapat terus bersekolah.


Sesampainya di Yogja, setelah melalui landing pesawat yang seperti ada di dalam bus kota, dengan menaiki mobil sewaan kami pergi ke tempat lokasi di Sendangsono yang jaraknya kira-kira 11/2 jam dari kota Yogja.

Melewati jalanan yang berputar-putar naik dan turun, saya mulai khawatir kalau saya merepotkan teman-teman saya dengan mabok darat dan jackpot (read: muntah).

Tetapi Puji Tuhan saya baik-baik saja, bahkan menikmati perjalanan itu biarpun gelap gulita dan terkantuk-kantuk di bangku paling belakang Panther (karena di mobil itu Saya salah satu yang paling muda, jadi yaaa… Saya harus memberikan tempat duduk yang lebih enak kepada yang lebih tua hehehe...)


Kami disambut dengan ramahnya oleh pemilik rumah dan penduduk sekitar Goa Sendansono (kami tinggal persis di belakang area doa Sendangsono). Malam itu kami tutup dengan ibadat bersama.


Ada 20 frater yang sedang belajar di seminari. Dari seminari menengah, tinggi, dan yang paling senior adalah frater yang akan melaksanakan tahun pastoral parokinya (saya tidak tahu, itu tahun keberapa).

Yang mencengangkan adalah… semua frater tersebut berasal dari daerah Sendangsono dan sekitarnya… dan SEMUANYA menikmati berkat beasiswa yang diberikan lewat tangan Pak Mul.

Saya membayangkan - apa rasanya menjadi seseorang yang satu hari nanti (mudah-mudahan) melihat 20 pastor yang bisa berkarya lewat kerja kerasnya mencarikan dana untuk pendidikan menuju imamat mereka. Pasti rasa itu tidak terbayarkan oleh apapun juga. Dua puluh frater yang sedang berlibur itu datang dari penjuru kota Jawa untuk membantu membagikan beasiswa bagi adik-adik mereka, seperti dahulu mereka juga pernah mengalaminya.

Akhirnya hari pertama saya hampir berlalu. Thank God I survived!

Perlahan kekhawatiran mulai menyusup pergi.

Melihat semua kenyataan yang ada, tidak seperti yang saya takutkan.

Saya mendapat kamar yang isinya hanya berdua dengan Feni dan dialasi kasur (super duper) tipis, tetapi cukup nyaman. Dialasi sleeping bag, Puji Tuhan saya dapat tidur (biarpun kami baru bisa tidur jam 1 pagi setelah breafing dan parahnya itu adalah jam ayam jago di sana mulai berkokok! Minta ampun berisiknya, dari yang bass sampe yang suaranya seperti ayam tercekik!) biarpun dengan diiringin musik alam yang membuat saya terus menerus terbangun.

Lalu toilet yang biarpun membuat semprotan toilet seat saya jadi tidak berguna (karena toilet di sana adalahL ‘super seat’ alias jongkok) tetapi semuanya dapat dikatakan cukup bersih dan layak untuk dibuat mandi.


Dalam doa malam, Saya bersyukur, hari ini Saya bertemu dengan orang-orang baru dan kawan lama yang hebat.

Sebagai seorang istri yang mempunyai suami yang juga seorang pembawa visi, Saya mengetahui bagaimana challenge perjuangan hidup mereka, dan bagaimana mereka harus membuat keputusan-keputusan yang tidak nyaman dalam memperjuangkan visi yang Tuhan taruh dalam hati mereka.

Seorang visioner membuat hidup mereka berarti. Bukan dengan kegemerlapan dunia, tetapi dengan membuat hidup orang lain juga berarti.

Akhirnya, sebelum Saya benar-benar terlelap, lintasan terakhir dalam benak saya adalah… “Apa yang ku ingini dalam hidup ini? Untuk membuat hidupku berarti? Apa aku sudah menjalaninya?”

Day #1 - done and I still Alive! Yeaaayyyy


to be continued:


4 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page