Di usia ke 34 dalam hidup, Saya memasuki sekali lagi ‘panic age’ in my life. Seorang wanita biasanya memiliki beberapa kali tahap panic age dalam kehidupannya.
Panic age… belum punya pacar. Panic age… belum menikah. Panic age… belum punya-punya momongan.
Sekali lagi - my school of life mengajarkan sesuatu lewat tahap ke 'panic age’an Saya kali ini.
Usia 34 di dunia kedokteran sepertinya adalah usia-usia ‘akhir’ dalam karier pendidikan di dunia kedokteran. Why?
Karena pendidikan dokter spesialis mempunyai persyaratan usia 35 sebagai usia maksimal boleh mengambil pendidikan dokter spesialis.
Setelah usia 35 masih boleh sih, tetapi namanya kelas extension yang mahalnya ajubilahhhh… (yang biasa aja biayanya juga sudah selangit….)
Menghadapi keadaan ini membuat hati ini merasa resah.
Serasa Saya tidak menggunakan waktu di dalam hidup sebaik mungkin. Sekali lagi - idealisme vs realita berkecamuk.
Kadang Kita mengkambing-hitamkan realita kehidupan sebagai suatu alasan untuk memperdamaikan idealisme yang Kita miliki.
Tetapi menurut Saya, idealisme tidak sepatutnya luntur karena realita.
Banyak sekali kondisi dalam pekerjaan Saya dulu di dunia farmasi dan sekarang di dunia kedokteran yang membuat hati ini tergoda untuk menurunkan standart idealisme dengan realita yang ada.
Bahkan dulu saat Saya masih jomblo dan belum punya pacar, Saya juga berpikir bahwa Saya yang tidak realistis dan tergoda untuk menurunkan standard pasangan hidup yang selama ini ada dalam angan-angan Saya.
Thank God, melalui pengalaman berhadapan dan bersingungan dengan berharganya kehidupan setiap pasien yang Saya terima, membuat saya belajar sekali lagi:
setiap harga yang harus di bayar lewat idealisme yang ada, layak diperjuangkan.
Panic age yang Saya ceritakan di atas juga kembali membuat Saya sempat menyesalkan keputusan Saya untuk menikah.
Biarpun Saya dikaruniai suami yang luar biasa mendukung setiap keputusan positif saya (dasar manusia… ngga ada habisnya heheheh…). Tetapi realita seakan berbenturan dengan idealisme yang ada.
Dua idealisme yang berbenturan dan seakan tak berujung. Satu sisi rasanya ingin sekolah lagi, sisi lain tampaknya akan menjadi salib yang berat untuk menyelaraskan kehidupan pernikahan dengan semua aktifitasnya.
Tetapi satu hal yang pasti - sekolah hidup mengajarkan kepada Saya untuk belajar berdamai tanpa harus mengorbankan idealisme yang ada karena pilihan-pilihan harus dibuat, dan konsekwensi menyertai setiap keputusan atas pilihan yang saya buat. Kalaupun Saya harus memilih Saya ingin belajar berdamai dengan setiap keputusan yang Saya buat, dan tidak membuat kepanikan mengendalikan Saya. Sekali lagi sekolah kehidupan mengajarkan Saya, untuk belajar menjadi perempuan yang bijaksana.
Apapun keputusan saya (yang belum saya putuskan juga sampai hari ini heheheheh…), Saya tahu saya harus berdamai dengan semuanya itu.
Tuhan menghantarkan Saya kepada setiap pilihan-pilihan yang menanti kehendak bebas saya.
Saya tahu - apapun keputusan Saya - God be with me! Idealisme VS reality…? hhhhmmmm… Mungkin sekarang bisa menjadi Idealisme CS reality.
Once again - enjoy the life that you have.
Life is full of surprises.
Commentaires