When Love and Hate Collide
Terangguk-angguk di dalam angkot.
Termenung. Melihat ke arah birunya hamparan laut, tetapi tidak jelas apa yang saya pandangi.
Mulai menyusun piece by piece pengalaman yang baru saja saya alami.
Saya mulai menyadari bahwa saya ada di dalam angkot menuju Malalayang, dan saya mendapati kalau rute ini adalah rute Trans Sulawesi.
OMG Saya tidak ingat sama sekali kalau saya pernah melintasi jalanan ini.
Hal terakhir yang saya ingat adalah saya ada di dalam angkot di jam 10 pagi dan sedang bingung entah mau berkelana ke mana.
Setelah itu - hhhmmmm sampai hari ini, 20 tahun sejak kejadian itu, apa yang terjadi masih merupakan teka-teki buat saya.
Jalanan berkelok-kelok membuat badan saya terguncang ke kanan dan ke kiri. Untung saja cuma ada 1 orang anak perempuan remaja di dalam angkot. Jadi saya tidak harus menjawab puluhan pasang mata yang pasti menatap saya penuh pertanyaaan: "Ini cewek kenapa ya? bengkak-bengkak semua mukanya? Diputuskin kali sama pacarnya???"
Jalanan ini adalah rute Trans Sulawesi di mana bus-bus trans Sulawesi melintas. Di beberapa titik Saya melihat perbatasan dengan lembah yang dalam, karena beberapa spot berbatasan dengan laut.
Otak saya sudah mulai mampu diajak bekerja sama.
Saya menganalisa hanya ada dua kemungkinan saya bisa sampai di tempat tadi:
kalau tidak berjalan kaki, ya dengan naik angkot seperti ini. Tapi melihat uang di dompet saya. Uang saya tidak berkurang sama sekali, sehingga Saya menyimpulkan kalau Saya berjalan kaki menuju tempat tadi.
Buat yang mengenal saya sejak dulu kayaknya akan setuju kalau model yang jarang olah raga seperti saya, kekuatan dari mana saya bisa berjalan sejauh ini?
Saat itu otak saya mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan. Imajinasi saya mulai bergerak liar. Beribu bagaimana, what if, seperti lemparan bola tenis dari mesin penembak bola tenis otomatis:
Bagaimana kalau di tengah jalan saya tertabrak dengan bus trans yang melaju dengan begitu cepatnya di jalur ini? Bagaimana kalau saya diperkosa di tengah jalan atau di tengah hutan-hutan ini? Bagaimana kalau saya dirampok? Bagaimana kalau dalam perjalanan saya jatuh ke lembah yang dalam itu…?
Bagaimana kalau fisik saya tidak kuat dan pingsan di tengah jalan?
Bagaimana kalau saya ketemu orang jahat dan kemudian saya dibunuh? Bagaimana kalau… Begitu banyak pertanyaan dan ketakutan timbul waktu saya melintasi jalan tersebut.
Saat saya mulai memikirkan beribu bagaimana kalau ini, saya masih sambil menangis. Biarpun tidak se-histeris tadi.
Tetapi semakin lemparan pertanyaan bagaimana kalau itu terlempar ke otak saya seperti pancingan bola tanggung - yang ke mudian di smash dengah tajam oleh ketidak mampuan saya menjawab, air mata perlahan seperti masuk kembali ke kelenjarnya dan dengan begitu saja mengering.
Tiba-tiba ada rasa marah.
Rasa benci yang meluap dalam hati saya.
Ini semua terjadi karena kesedihan yang saya alami beberapa bulan belakangan ini.
I blamed it to my ex boyfriend - yang saya kejar jauh sampai ke Eropa dan dengan alasan mulia ia mengatakan kalau ia belum tentu bisa memberikan masa depan ke saya.
Mencampakkan Saya begitu saja. Tanpa bisa saya debat, karena begitu mulianya hatinya yang seakan-akan begitu memperhatikan saya. S**t!
I blamed it to my ‘so called’ best friend yang katanya mencintai Saya, berasa nyaman dengan saya, tetapi memutuskan untuk kembali ke mantan pacarnya. Ngomong mencla-mencle, dasar lelaki ngga jelas apa maunya!
Blame it to all men in my life! Karena semua laki-laki yang pernah hadir dalam hidup saya hanya bisa menggunakan, menyakiti, dan meninggalkan saya. Saya marah kepada mereka.
Saya... akhhh... saya ngga bisa menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan kemarahan ini.
Ingin rasanya saya mengutuk - I wish they are all go to h**l misalnya, tapi ngga bisa.
Thanks to my parents yang selalu mengajarkan saya untuk tidak mengucapkan kata-kata umpatan dan sesuatu yang sia-sia.
... and I blamed it on you Mom and Dad for this, saya jadi ngga bisa memaki dan mengekpresikan kemarahan saya.
Tetapi lebih dari pada itu… lebih dari kemarahan ke lelaki-lelaki itu, ada satu orang yang membuat saya benar-benar tidak mampu menghadapinya lagi. Saya bukan cuma marah terhadap dia. Saya MURKA terhadap orang ini.
And unfortunately orang itu adalah... saya sendiri!
Saya marah karena saya mengijinkan mereka semua memperlakukan saya seperti itu.
Saya marah karena saya membiarkan diri saya harus menunggu 10 tahun dan menguburkan semua mimpi-mimpi saya hanya karena seorang lelaki yang akhirnya... saya putusin juga. Saya marah karena saya menyakiti mantan pacar saya itu. hhhmmmm ini cerita lain ya yang juga bakal berepisode-episode menceritakannya karena kami pacaran 9 tahun, bertunangan, lalu putus di tahun ke 10 pacaran kami.
Saya marah karena saya membiarkan harga diri saya hancur diinjak-injak demi mendapatkan cinta para lelaki ini. Saya marah karena saya begitu menyedihkan, mengiba-iba ke pada para lelaki untuk dicintai.
Saya marah karena menghadapi kenyataan begitu lemahnya saya. Saya muak dengan diri saya sendiri.
Saya mencium aroma yang tidak sedap, seperti bau sampah. Saya melihat ke kanan dan ke kiri, ngga ada tuh tempat pembuangan sampah. Ternyata itu bau badan saya yang saya asosiasikan dengan sampah. Sesaaat saya seperti melihat begitu banyak belatung keluar dari setiap pori-pori saya. Saya begitu menjijikkan!!!
Hampir saya berteriak dan meminta Oom sopir mengantar saya ke Rumah Sakit. Untunglah saya masih dapat mengendalikan diri. Biarpun saya tidak mampu menjawab tatapan aneh yang cenderung ketakutan dari cewek yang satu angkot dengan saya.
Dalam hati rasanya sakit sekali. Dan saya menangis lagi. Tetapi kali ini bukan tangis kesedihan. Kali ini bukan tangisan ketidak-berdayaan. Kali ini bukan tangis minta dikasihani. It’s like my 2nd personality came out from the pieces of me. Diri saya seakan terpecah-pecah seperti puzzle dan kemudian menyatu lagi dengan satu gambaran Lia yang baru.
Ada satu kekuatan dalam diri saya yang keluar dan berjanji: “Saya tidak akan pernah membiarkan siapapun memperlakukan saya seperti selama ini saya mengijinkan diri saya diperlakukan!!! You can have my word!!!”
Saya berjanji saya akan menunjukkan bahwa saya bisa hidup tanpa mereka. Saya bisa hidup tanpa cinta. Saya bisa berprestasi lebih dari pada mereka. Saya bisa mendapatkan semua yang yang butuhkan dan saya mau - tanpa mahkluk yang bernama lelaki. Hey remember this! bukan hanya lelaki yang bisa menggunakan tubuh perempuan, Sayapun – seorang perempuan, bisa menggunakan tubuh, keberadaan/materi, perhatian lelaki.
Saya tidak akan membiarkan diri saya mencintai lagi karena cinta membuat saya lemah dan dikendalikan.
Kali ini saya yang akan mengendalikan semua yang terjadi dalam hidup saya. I will not say I love you again.
Never in my life!
Saya percaya adanya Tuhan, tetapi saya tidak akan membiarkan Tuhan semena-mena membiarkan saya mengalami semuanya ini. Saya bertanggung-jawab penuh atas semua yang saya ijinkan terjadi dalam hidup saya. Tuhan ada atau tidak dalam hidup saya, tidaklah terlalu penting saat ini.
Tokh Dia tidak ada saat saya mengalami semuanya ini!
Look what He’s done to me…?
You say You are God? Pleaseeeee... I don’t think I can trust Him again. Let God be God.
God for others, not for me.
So I think, if I have to go to heaven, but I have to meet you there. It's better I go to hell!
Again... read my lips: I won’t let You take control of my life.
Period.
Comments